Ayo Pasang Iklan


Selasa, 29 Agustus 2017

Tingkat Kepercayaan: Edukasi, Inspirasi atau Sensasi?

KOMPAS - DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum.

Jika kita mau jujur menghitung semua informasi yang menyitir soal kesehatan, mulai dari edaran media sosial hingga buku-buku komersial di toko buku ternama, barangkali akan muncul fakta yang cukup horor dan mengerikan.

Bahkan, berita on-line yang cukup tepercaya tak jarang menyisipkan kalimat-kalimat ‘sesat’ di artikel kesehatan yang jelas-jelas tidak ada di sumber aslinya dalam laman ofisial berbahasa Inggris.

Sangat mencengangkan, misalnya ada ajaran sarapan pagi hanya buah saja – yang tidak boleh dimakan bersama lauk, itu - lebih melekat di benak publik Indonesia ketimbang Pedoman Umum Gizi Seimbang.

Padahal, di sekolah resmi semua calon dokter dan ahli gizi tidak pernah ada aturan-aturan makan aneh, apalagi dibarengi jualan suplemen berselubung diet cepat langsing.
Tingkat kepercayaan publik pada pemerintah yang sedang memimpin tidak hanya nampak pada survey kepuasan layanan atau pemberantasan korupsi.

Secara kasat mata justru bisa dirasakan di lapangan, khususnya pada aspek yang amat menentukan masa depan bangsa: pendidikan dan kesehatan.

Betapa mirisnya melihat pasien tidak percaya lagi pada dokternya, anjuran tindakan medis ditepis mentah-mentah, yang dilirik justru situs-situs internet dimana orang berjualan kepercayaan dan klenik gaya baru berlindung di balik istilah ‘pengobatan holistik’ atau ‘terapi alami’.

Malapetaka besar suatu saat akan timbul, apabila pemerintah enggan dituduh sebagai diktator atau membatasi hak berpendapat di saat maraknya dukun-dukun baru bermunculan yang sama sekali tidak punya kompetensi legal di bidang kesehatan.

Mereka mulai merambah pemahaman manusia tentang kesehatan dan cara hidup sehat dengan menyitir pendapat orang-orang asing yang di negri nya sendiri sudah dianggap bid’ah.

Pseudo-science menjadi modal berkelit, alias rentetan ulasan yang dipelintir agar kedengaran ilmiah tapi tanpa dasar pembuktian yang absah.

Mengerikan sekali melihat komunitas-komunitas pengikut aliran-aliran diet semakin bermunculan dan mendewakan teknik yang mereka jalankan.

Seakan-akan pola makan nenek moyangnya salah semua (padahal leluhurnya berumur panjang), dan cara makan (bukan apa yang dimakan) kita saat ini bakal jadi biang keladi kanker serta timbulnya racun dalam tubuh yang harus ‘didetoksifikasi’ (lagi-lagi) dengan cara mereka.

Kesannya Tuhan selama ini membuat saluran cerna dan enzim tubuh yang cacat. Bahkan ada beberapa orang yang lebih nekat, mengajarkan bagaimana konsumsi makanan sehat untuk mengobati (bukan mencegah) kanker.

Begitu banyak korban sudah berjatuhan, sementara iklan dan buku-buku tanpa filter terus bermunculan. Judul-judul bombastis di rak toko : mulai dari istilah “Sehat Tanpa Obat”, hingga berbagai daun dan produk tumbuhan sebagai obat sapu jagad.

Bayangkan jika salah satu anggota keluarga terkena penyakit keras, sebutlah kanker, dan membaca judul seperti itu.Rasanya terlalu menggelitik dan jauh dari berkeadilan, jika pemerintah mengandaikan rasionalitas rakyatnya untuk bisa menimbang sendiri mana yang manfaat dan mana yang mudharat.

Indonesia tidak bisa disamakan dengan Singapura, bahkan tidak setara Myanmar yang asupan sayurnya hampir 3 kali lipat lebih tinggi per kapita per tahun.

Di sini kita setengah mati berkampanye makan sayur dan buah yang membuat presiden turun tangan menerbitkan Inpres.

Dan di sini pula anjuran sehat itu masih disabotase dengan pemikiran picik sayur penyebab darah kental dan asam urat – tanpa melihat kontributor utama yang justru jadi penyebab dua masalah tersebut: kegemukan, sindroma metabolik, diabetes dan hipertensi.

Negri Jepang, di mana rakyatnya bisa memilah mana buku bermutu dan mana picisan, terdata sebagai konsumen pangan laut terbesar di muka bumi. Di sini, hasil laut dianggap biang keladi lonjakan kolesterol.

Di tanah air kita, orang lebih tidak takut makan mi instan dan bakwan goreng, ketimbang pepes cumi atau udang.

Sehingga cumi, udang, teripang serta ikan yang terbaik melayang ke negri orang. Nelayan kita bangga berduit banyak, bisa beli jajanan anak di mini market dan mobil baru untuk dipamerkan ke jejaring medsos.

Seandainya makan ikan pun, tetap digoreng – karena tayangan televisi pada selebrita mengajarkannya begitu, – resep-resep masakan pun tidak lepas dari promosi bumbu masak dan minyak goreng.

Bisa dibayangkan betapa payahnya edukasi mencegah penyakit, dibanding program-program televisi atau layar ponsel yang menayangkan kisah inspirasi dan sensasi tanpa esensi sama sekali.

Alhasil, bagaikan benang kusut, angka kesakitan dan kematian tak kunjung turun bermakna, ditambah semakin kumuhnya layanan kuratif yang tak lagi kuat menampung lonjakan pasien.

Pemerintah kian dituduh tidak becus – padahal saat rakyatnya diminta lakukan deteksi dini penyakit dan vaksinasi malah yang digubris bujukan sabotase aliran sesat yang minim kebenaran.

Mungkin publik kita sudah terlalu lama mengalami fase pembiaran. Sehingga terbiasa mencari sendiri. Mengais-ngais sejumput ilmu, dan ‘apa kata orang’.

Kita masih jauh dari jumlah penelitian ilmiah yang bermutu tinggi, yang berkaitan dengan kekayaan negri – bukan berkepentingan industri.

Jadi, bagaimana mau berdiri di atas visi, jika kita masih mengintip penelitian negri asing? Pun, di negri orang sayur tidak dimakan sebagai lodeh atau kamuflase ‘lontong sayur’.

Pekerjaan rumah masih banyak. Tapi selama semua kepentingan punya tujuan yang sama, maka kita masih bisa berharap mempunyai tolok ukur yang sama.

Tingkat kepercayaan terhadap pemerintah terdongkrak jika publik bisa merasakan perbedaan kualitas hidup bukan cuma besarnya jumlah rupiah masuk kantong seperti anggapan banyak politisi.

Sehingga upaya preventif dan promotif bukan lagi sekadar teori, dan rakyat juga tidak lagi perlu mendengarkan ocehan omong kosong yang menyita panggung eksistensi tanpa esensi edukasi.


***** SEMOGA BERMANFAAT *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar